Jumat, 08 Juli 2011

UPACARA TRADISIONAL


.Sekaten
Setelah Raden Patah dilantik menjadi sultan pertama Kerajaan Demak, atas anjuran Wali Sanga didirikanlah Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu, penyebaran agama islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian muncul gagasan dari Sunan Kalijaga untuk menyelenggarakan keramaian menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada bulan RAbiulawal . Maka, dibunyikanlah gamelan di halaman masjid agara rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak semiggu sebelum peringatan Maulid,diselenggarakan keramaian. Secara terus menerus gamelan ditabuh disertai dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.
Mendengar bunyi gamelan yang merdu, rakyat bebondong-bondong menyaksikan dari dekat, kemudian menuju pelataran masjid.Para wali memanfaatkan keamaian tersebut sebagai ajang berdakwah tentang keluhuran agama ialam. Banyak yang tertarik dan kemudian masuk islam. Mereka yang masuk islam diwajibkan mengucapkan dua kaliamt syahadat, istilah Arabnya Syahadatain. Lidah orang jawa mengucapkannya sebagai sekaten. Orang yang telah menyempurnakan syahadat berarti sudah resmi masuk islam dan untuk menyempurnakan keislamnnya lalu disunat.
Pada malam 12 Rabiulawal, Sultan keluar dari keraton menuju masjid untuk mendengarkan riwayat hidup Nabi. Pada tengah malam, Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten pertanda berakhirnya perayaan sekaten.
Pada pemerintahan Sultan Agung, tradisi garebeg mulud disertai pisowanan garebeg di Sithingil. Acra tersebut diakhiri dengan wilujengan negarti berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid Agung.Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian menjadi rebutan masyarakat karena diprcaya dapat digunakan sebagai tolak bala agar hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud diadakan pula garebeg syawal unutk merayakan Idul adha.
Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan pindah dari Demak ke Pajang, dari Pajang pindah ke Mataram, lalu ke Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, ditabuhlah dua gamelan sekaten, yaitu Kyai Gunturmadu (yang bermaknaanugerah yang turun) di tempatkan di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo (yang bermakna Lestari dan menang perang) ditempatkan di bangsal Pagongan Utara.
.Labuhan
Dalam kepercayaan jawa, setiap tempat mempunyai penguasa gaib berupa mahluk halus penunggu. Gunung Merapi yang terletak di Utara Kota Yogyakarta diyakini ditunggu oleh mahluk halus bernama Eyang Sapujagad. Adapun Samudera Indonesia, biasa disebut laut selatan, yang terletak di selatan kota Yogyakarta ditunggu oleh wanita cantik jelita bernama Kanjeng Ratu Kidul.
Panembahan Senopati sebagai raja Mataram berupaya menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Karena itu, ia menalin komunikasi dengan kedua mahluk halus tesebut. Salah satu bentuk komunikasinya adalah dengan besemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati merasa sudah saatnyan mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pajang, ia bertapa di Laut Selatan. Sementara itu, pamannya, yaitu Ki juru mertani , bertapa di Gunung Merapi.
Untuk menghormati ikatan antara Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati, maka setiap tahun diadakan labuhan di Pantai PArangtritis. Kalau kewajiban itu diabasikan, terdapat kepercayaan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan murka dengan mengirim tentara jin untuk menyebarkan penyakit dan berbagai musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Tetapi bila labuhan tetap dilaksanakan, maka Kanjeng Ratu kidul akan memberikan perlindungan dan bantuan ke Mataram.
Labuhan ini sudah menjai upacara adat Keraton Mataram sejak abad ke VXII. Setelah perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunana Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, maka tradisi labuhan ini dilakuka oleh dua kerajaan Jawa tersebut.
Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari setel;ah penobatan pangeran Mangkubumi sebagai Sultan HB I tahun 1755. Tradisi ini berlangsung ssampai Sultan HB ke VII.
Pada masa pemerinthan Sulatan HB ke IX, labuhan diadakan setelah ulamg tahun Sulatan, Kini, di masa Sultan HB ke X, labuhan dilaksanakan sehari dulu lagi, yaitu sehari sesudah penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun pada tanggal 30 bulan Rejeb karena Rejeb tahun Wawu atau 7 Maret 1989.
Seribanya barang-barang labuhan atau sesaji di Parangkusumo, rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas batu inilah dulu Panembahan Senopati dan Kanjeng RAtu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang memimpin pelaksanaan upacara membakar kemenyan, kemudian menanam kuku, rambut, dan pakain bekas sultran HB ke X di pojok kompleks.
Juru kunci membakar kemenyan lagi dan mengassapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan lalu berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai, juru kunci duduk bersila menghadap ke laut melakukan sembah ke Kanjeng Ratu kidul sambil mengucapkan doa permohonan, “Hamba mohon permisi, Gusti Kanjeng Ratu Kidful. Hamba memberikan lelabuhan cucu Paduka ingkang Sinuwun Kanjeng sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat Cucu paduka mohon pangestu, mohon keselamatan, mohon panjang usia, kemuliaan kerajaan, keselamatan Negara di Ngayogyakarta Hadiningrat.”
Ketigaa ancak segera dibawa ke tengah laut unutk dilabuh. Ancak paling depaan unutk dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul, raja dari mahluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu Kidul, dan ancak ketiga dipersembahkan kepada mbok Roro RAtu Kidul, pembantu kedua.
Masyarakat yangmenghadiri acara lelabuhan biasanya beramai-ramai memperebutkan sebagian dari benda labuhan ynag dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang masih baru akan hanyut ke dalam laut karena dipakai oleh Knajeng Ratu Kidul, sedangkan barang-barang sepert baju bekas Sultan dan bnga sesaji akan kembali kepantai.
Menurut kepercayaan, barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut mempunyai kekuatan ghaib karena dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk mengatasi segala gangguan dan penyakit.Beberapa orang yang menjadikannya sebagai jimat. Jimat adalah suatu benda yang difungsikan sebagai pusaka dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk membantu pemiliknya menangkal gangguan alam. Yang mendapatkan benda-benda labuhan berharap akan memperoleh kesejahteraan dan keberuntungan hidup.
.Bekakak
Bekakak disebut juga saparan bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan manusia atau hewan. Hanya saja, bakakak yang sisembelih dalam upacara ini hnya tepung ketan yang dibentuk seperti pengantin laki-laki dan perempuan sedang duduk.
Sebelum diarak unutk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi . Orang-orang begadang semalam suntuk unutk meyambut kedatangan para bidadari tersebut.
Pada siang hari, :pengantin” diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta, ke Gunugn Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta abdi dalem Sri Sultan HB I, muksa, hilang tanpa bekas.
Kyai Wirasuta adlah abdi dalem Penongsong, abdi dalem pwmbawa paying ketika Sri Sultan HB I bepergian. Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang barui, abdi dale mini tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal penduduk di sana. Ia tinggal dalam Gua di bawah Gunung Gamping tersebut.
Suatu hai, jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar, menjelang purnama terjadi musibah yang menimpa kyai Wirasuta sekeluarga, gunung Gamping yang didiami rutuh, kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa landak ,gemak, dan merpati terkubur di reruntuhan.
Sri Sultan HB I segera memerintahkan untuk mencari jenazah mereka, tetapi tidak diemukan. Maka Sulatan memerintahkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bualn Spar antara tanggal 10-20 unutk membuat selametandan ziarah ke Gunung Gamping dengan tujan unutk menegnang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayat.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang penunggu Gunung Gampaing.Tujuannya adalah agara mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gamping di sana.

.Rebo Wekasan
Rebo Wekasan merupakan suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul. Letaknya sekitar 10 km dari kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasakl dari kata rebo dan wekasan yang berarti hari rabu terakhir bulan sapar.
Pada tahun 1600, Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau pageblug. Sultan Agung sebagai raja Mataram sangat prihatin. Ia pergi bersemadi di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membuat penolak bala guna mengusir wabah tersebut.
Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo untuk membuat penolak bala. Jimat adalah penolak bala itu. Jimat tersebut berupa aksara arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris dan dibungkus dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung, jimat tersebut direndam dalam bokor kencana dan diminumkan kepada orang yang sakit, dan ternyata mereka sembuh.
Semakin banyaknya orang yang dating meminta air tersebut. Lantaran tidak mencukupi untuk semua orang, maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik unutk membuang jimat tersebut di tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong. Berduyun-duyunlah orasng berkunjung ke tempuran tersebut untuk membvasuh muka, mandi, dan berendam agar mendpat keberuntungan.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk membuat Masjid Pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa. Awlanya Masjid tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman daun alang-alang yang disebut welit.Karena keahliannya membuat welit maka masyarakat sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo wekasan pada Rabu terkhir bulan Sapar tahun 1754 M. Dia membuat kue Lemper yang dibagikan ke masyarakat di sekitar.
Menurutnya, kue lemper mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala hal yang dapat mengotori akidah, sehingga dibuang. Ketan ibarat kenikmatan duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincang ibarat kernikmatan akhirat. Jadi makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendpat kebahagiaan dunia dan akhirat harus bisa menghilangkan kotoran jiwa sehingga jadi bersih seperti lemper yang sudah dikupas.
Peristiwa tersebut dianggap sebgai hari bersejarah bagi masyarakat Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo wekasan dianggap sebagai pengingat bahwa telah terjadi musibah yang menelan banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper terus diturskan sampai sekarang dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter setengah meter.
.Siraman Kanjeng Kyai Jimat
Upacara dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau mempunyai nilai spiritual karena bertuah dan dikeramatkan. Dengan menyajikan persembahkan makanan (caos dahar)berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjengkyai Jimat diharapkan roh penunggu kereta memberikan keselamatan bagi keluraga dan para kawula kerajan.
Acara ini dislenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan, keraton Yogyakarta. Biasanya, acara tersebut digelar hari Slesa kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sur. Setelah diberi sesaji, kain penutup kereta dibuka untuk mendorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedongan. Bagian pertama yang dibersihakan adalah bagian depan kereta berupa patung putrid duyung. Dilanjutkan bagian atap, terus kebelakang. Terkhir adalah bagian roda kereta. Asap dupa terus mengepul tiada henti menciptakan suasan magis.
.Nguras Enceh
Enceh atau kong adalah wadah air yang terbuat dari tanah liat. Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Isatana Saptarengga, makam Sultan Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang kasunanan Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang Kesultanan Yogyakarta.
Nama-nama enceh mulai dari timur ke bara adalah Nyai Siyem berasal dari negeri Siam atau muangthai, Kayai mendung berasal dari negeri ngerum, Kyai Danumaya berasal dari Palembang, dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi dalem Puralaya yang menjaga makam, enceh ini digunakan sebagai tempat wudu Sultan Agung ketika hendak menuniakan sholat.
Pada bulan Sura, hari Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang mengikuti upacara pembersihan enceh. Mereka berebut mendpatkan air bekas cucian encehy. Ada juga yang caos dhahar dengann membawa kembang setaman dan membakar kemenyan. Mereka meminta agar dikabulkan segala cita-citanya. Ada juga oaring-orang tua yang membasuh mukanya dengan air enceh yang dipercaya membuat awet muda dan menyembuhkan berbagai penyakit.
Sebelum enceh dibersihkan, terlebih dahulu dilakukan sugengan dengan tahlilan yang dilaksanakan oleh abdi dalem juru kunci keraton Yogyakarta. Setelah dikuras, enceh diisi dengan air sampai penuh. Kemundian air kurasan tadi dibagiakn bagi yang membutuhkan, ada juga yang langsung diminum di tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar