Rabu, 29 September 2010

mimmmP!!!!!!!xxxuuu




Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa mewujudkan impian itu tidak gampang. Walaupun tidak harus selalu semua hal dibuat susah.

Tapi umumnya, untuk mewujudkan sebuah impian butuh proses panjang, berliku, harus melewati kerikil-kerikil tajam, terjal dan harus membiasakan diri bersahabat dengan ketidakpastian. Mereka yang sudah mengecap nikmatnya hasil keringat terbaiknya, selalu mengatakan bahwa mewujudkan impian harus penuh kesabaran dan siap berproses.

Inilah tantangan kita sepanjang zaman. Bagi yang sering mempelajari kisah-kisah tokoh, tentunya paham betul makna kesabaran. Salah satu contoh buku yang menceritakan kesabaran adalah buku karangan Kick Andy (dalam buku 7 Heroes). Bagi saya, Kesaksian hidup Wanhar Oemar dan ’Suster Apung’ sungguh menginspirasi tentang kesabaran. Saya menyimpulkan dalam pekerjaan apapun, kesabaran sangat diperlukan.

Cerita lain yang tak kalah seru adalah novel Frankenstein karangan Mary Shelley. Dalam buku ini dikisahkan tentang seorang pemuda dari Jenewa, Swiss, namanya Victor Frankenstein. Dia bertumbuh dan menjadi mahasiswa di kampus Ingoldstadt, Italia. Sejak hari pertama kuliah, dia menyukai kimia. Mr Waldman adalah guru favoritnya.

Kecintaannya pada kimia menginspirasinya untuk mencari tahu darimana datangnya kehidupan. Karena impiannya itu, ia rela melakukan penelitian di laboratorium setiap saat. Kadang ia tinggal semalaman di sana sampai bintang-bintang menghilang dari langit. Ia membaca buku-buku, memahami banyak hal dan melakukan percobaan sebanyak mungkin. Ia ingin menciptakan kehidupan. Karena terlena dengan impiannya itu, selama dua tahun ia bekerja keras, sampai-sampai lupa berinteraksi dengan keluarganya dan tidak pernah pulang kampung.

Ia pun terus bekerja. Hari-hari dilaluinya di dalam laboratorium, berteman dengan peralatan lab dan bau obat-obatan khas sebuah laboratorium, bersahabat dengan kesepian. Namun, sungguh mengharukan ketika ia harus terus bekerja meski sudah kelelahan, dan matanya sudah terasa berat tetapi semangat kerja kerasnya tak mengendur hingga iapun jatuh sakit.

Bagi kebanyakan orang, kesabaran dan kerja keras adalah hal yang amat sulit untuk dilakukan. Tidak begitu dengan Frankenstein. Ia tidak menyerah. Perjuangannya mewujudkan impiannya sungguh luar biasa. Sekalipun, tak jarang rasa frustrasi menghampiri saat menghadapi jalan buntu dan tiada kawan yang membantu. Mungkin yang paling mengerikan adalah saat ia merasa bahwa orang lainpun menganggapnya aneh, seperti alien, termarjinalkan dan tidak dimengerti masyarakat. ia dianggap sampah, kesepian, terpuruk, apalagi ketika hasil kerja kerasnya itu belum menampakkan titik terangnya sama sekali.

Ide menciptakan kehidupan dianggap konyol. Maka tak jarang, karena sebuah ide, kitapun akan ditertawakan, dipandang remeh orang lain. Dan untuk memperjuang impian itu, kita harus mengorbankan banyak hal dalam hidup kita, mulai dari masa-masa muda, materi, energi dan waktu bersantai kita. Seperti membaca sebagai sebuah investasi, berpikir sebagai latihan, menulis sebagai sarana menata pemikiran dan doa sebagai media pengharapan yang menguatkan jiwa dan memuaskan kerohanian kita.

Singkat cerita, pada akhirnya Victor Frankenstein berhasil mewujudkan impiannya, menciptakan kehidupan (meskipun cerita akhirnya berakhir buruk karena tercipta sasuatu yang disebut ’monster’). Tetapi, belajar kesabaran dari novel ini tentu tidak ada salahnya, justru banyak hikmahnya.

Kesabaran, tak lepas dari kekonsistenan. Tidak plin-plan, tidak terbawa arus sekalipun segala sesuatu yang ditawarkan oleh lingkungan sangat menggiurkan atau menjanjikan. Kekonsistenan menuntut keberanian mengambil resiko. Karena, barangkali sesuatu yang berharga, yang menurut kita adalah segala-galanya, namun bagi orang lain itu tidak ada apa-apanya dan segala sesuatu yang menurut orang lain adalah segala-galanya, belum tentu segala-galanya bagi kita.

Di sinilah terjadi rentang yang jauh antara keinginan kita dengan kehendak orang lain, kemauan kita dan kemauan orang lain yang tak mungkin bisa dirasionalkan. Maka ketika sebuah keputusan telah diambil, maka kita harus siap menanggung segala resikonya. Sebab keputusan yang telah kita ambil itu sifatnya mengikat. Di sinilah kesabaran menjadi pertaruhan.

Konsisten pada apa yang telah kita tetapkan benar dan terbaik mengantar kita untuk berani keluar dari standarisasi masyarakat (yang bagi kebanyakan orang dianggap bukan kelaziman). Karena untuk mendapatkan yang terbaik butuh kerja keras dan cucuran keringat kesungguhan. Pahami bahwa apa yang terbaik hanya dapat diperoleh dengan kerja keras (smart) dan kreativitas orisinal. Dalam keadaan menghasilkan kreativitas, setiap orang butuh pasokan motivasi dan inspirasi yang luar biasa untuk bisa terus berproses dalam mewujudkan impiannya.

Berproses

Syarat kedua untuk mewujudkan impian kita adalah siap bayar harga. Karena impian itu adalah sesuatu yang sangat berarti bagi kita, maka apapun ceritanya mewujudkannya butuh proses yang siap menghadapi berbagai kekecewaan. Untuk bisa berdiri di atas bukit tanpa ada cacat, tentulah butuh pendakian yang telaten, gigih dan memiliki semangat menaklukkan alam. Ketiga sifat diatas hanya bisa diperoleh dari kemauan dan kesiapan berproses dalam hidup. Dalam banyak hal, kita harus membiasakan diri akrab dengan rasa sakit karena kekecewaan yang menyayat sebagai latihan jiwani dan sakit fisik sebagai latihan badani. Karena mewujudkan impian membutuhkan keberanian "membayar harga".

Berproses mewujudkan sebuah impian, selalu ada harganya. Maka izinkanlah proses itu membentuk kita secara alami. Proses adalah bagian kehidupan yang amat berarti sekalipun kadang menyakitkan. Sebab siapa berani bertaruh bahwa gagal itu tak ada artinya, bila ia menjalani segala sesuatu dengan berproses? Siapa berani menjawab bahwa keberhasilan jauh lebih baik dari kegagalan, jika itu dilakukan dalam sebuah proses hidup mewujudkan impian?

Belajar dari kisah Franskenstein diatas, untuk mewujudkan sebuah impian, kita butuh kesabaran, kemauan berproses dan siap bayar harga, meskipun lingkungan sekitar kita memandang sebelah mata impian dan cara kita meraih impian tersebut. Bukan hanya orang lain, teman dekat kita barang kali, keluarga, bahkan orang tua kita sendiri. Bahkan, sangat mungkin impian kita tidak ada harganya dimata mereka. Sekalipun, lingkungan tidak mendukung kita, keterbatasan sarana dan prasarana kerap menjadi penghalang, namun jangan sampai kita melepas impian kita itu. Yakinkan hati kita, suatu saat kelak, semua proses itu akan terbayar, dan jerih payah kita tidaklah sia-sia. Selamat mengejar impian, Tuhan memberkati.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar