Rabu, 29 September 2010

loveeeeeee

Gulungan kertas itu dibuka Ikal dengan berdebar. Penulisnya adalah detektif swasta M. Nur yang eksentrik. Isinya, menyatakan keprihatinan atas patah hati yang dialami Ikal. M. Nur mengaku memiliki informasi soal pria perebut kekasih Ikal. Yang menarik hati Ikal, sang detektif menyisipkan nama Jose Rizal. Siapa dia? Ternyata nama merpati yang mengantar gulungan surat. Nama yang lebih bagus ketimbang orang Melayu mana pun.


Inilah bagian dari petualangan baru Ikal dalam novel teranyar Andrea Hirata. Berbeda dengan tetralogi yang diluncurkan satu demi satu, kali ini Andrea mengemasnya dalam dwilogi yang menjadi satu buku sekaligus: Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas.


Sedikit banyak, dwilogi ini masih berhubungan dengan empat novel sebelumnya: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Empat karya yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan sejumlah bahasa Eropa lain seperti Jerman dan Belanda. Juga dalam bahasa Asia seperti Cina, Jepang, dan Vietnam. Kesuksesan yang menempatkan Andrea sebagai novelis yang go international.


Novel pertama, Padang Bulan, misalnya, menceritakan lanjutan kisah cinta Ikal dengan A Ling. Gadis Tionghoa ini menjadi cinta sejati Ikal sejak kecil seperti diceritakan dalam Laskar Pelangi, sampai ayah Ikal menolak merestui hubungan keduanya dalam tetralogi terakhir. Maka diceritakan Ikal minggat dari rumah. Belakangan, Ikal menerima informasi soal perjodohan A Ling dengan Zinar, pria Tionghoa yang diceritakan mirip bintang film Hongkong.


Jadilah Ikal yang dikuasai cemburu berusaha merebut A Ling. Lucunya, upaya perebutan ini bukan dengan melakukan hal-hal yang biasa. Tapi justru melalui berbagai lomba di kampung yaitu catur, voli, tenis meja, dan sepak bola. Bahkan Ikal sampai membeli peralatan peninggi badan supaya A Ling mau kembali.


Perjuangan yang luar biasa. Kadang tak masuk akal dan berlebihan. Tapi inilah kehebatan seorang Andrea: meramu cerita biasa menjadi tak biasa-biasa saja. Lupakanlah logika sejenak karena novel ini memang fiksi. Dengan membaca santai, kita bisa semakin merasakan betapa romantisnya ternyata seorang Ikal. Perjuangan cinta yang sangat layak dinikmati. Bahkan sangat mungkin kita menjadi bagian dari cerita itu sendiri.


Padang Bulan juga menceritakan kehidupan awal Maryamah binti Zamzami alias Enong yang begitu pahit. Bagaimana seorang perempuan kecil berjuang menghidupi keluarganya. Kehilangan ayah, ditolak bekerja, sampai harus menambang timah. Sesuatu yang tak terduga jelas telah dihadirkan oleh Andrea melalui sosok Enong yang ingin sekali menjadi guru bahasa Inggris. Andrea jelas mampu mengaduk-aduk emosi pembaca.


Sama seperti tetralogi, Andrea mampu memikat pembaca untuk segera menyelesaikan 254 halaman Padang Bulan dan melanjutkannya ke 270 lembaran Cinta di Dalam Gelas. Ikatan ala Andrea ini sudah muncul sejak mozaik pertama yang menceritakan kematian Zamzami. Gebrakan cerita yang langsung mengharukan pembaca dan memancing untuk membuka lagi dan lagi lembaran berikutnya.


Adapun novel kedua lebih banyak menceritakan lanjutan hidup Maryamah, dari perkawinannya yang gagal dengan Matarom, hingga mengikuti kejuaraan catur. Kita bisa menikmati perjuangan Maryamah yang luar biasa. “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar,” kata Enong yang tak lulus sekolah dasar itu. Enong bahkan sampai belajar dari Grand Master Ninochka Stronovsky.


Krakter tiap tokoh dalam novel ini mampu dihadirkan Andrea dengan cukup kuat. Kadang dalam cerita yang singkat, kadang bertele-tele meski tetap mengasyikkan dan mengalir. Yang pasti, Ikal dan Maryamah menjadi tokoh utama yang selalu dibantu M. Nur dan Jose Rizal. Tak lupa Andrea memasukkan tokoh yang sudah ada sebelumnya seperti si jenius Lintang meski hanya sebentar tampil.


Karakter pendukung lainnya juga tetap hidup dan tak sekadar menjadi figuran tanpa makna. Misalnya, paman Ikal yang pemarah tapi juga murah hati, kerap memaki pemerintah tapi sedetik kemudian bisa berubah memuji-muji pemerintah. Pembagian cerita (mozaik) yang digunakan Andrea turut mendukung pembangunan karakter ini. Kadang runtut, kadang sedikit membingungkan.


Inilah kemampuan Andrea menunjukkan kehebatan yang terpendam dalam diri manusia, kemampuan yang kadang tak dikenali atau dipahami orang itu sendiri. Andrea juga mampu memberi gambaran perspektif politik masyarakat kampung; bagaimana manusia bercinta dengan kepahitan hidup; dan menyindir dengan gayanya yang khas seperti pada novel-novel sebelumnya.


Chloe Meslin dalam pengantarnya menilai Andrea mampu menyuguhkan watak manusia yang penuh kejutan, sifat unik komunitas, parodi, cinta melalui penulisan yang membuka pintu baru bagi pembaca. Termasuk untuk melihat budaya, melihat diri sendiri, dan memahami cinta, hubungan keluarga, dan religi dengan cara yang tak biasa. “Keindahan kisah, kedalaman intelektualitas, humor dan histeria kadang-kadang, serta kehati-hatian sekaligus kesembronoan yang disengaja telah menjadi ciri gayanya,” kata Chloe Meslin.


Andrea juga menghadirkan budaya Melayu yang jarang dikenal masyarakat. Misalnya dalam pemberian nama atau kebiasaan ngopi di warung. Kadang terkesan bodoh atau kampungan. Tapi mungkin kata “lugu” lebih tepat digunakan untuk mewakili budaya di daerahnya. Inilah yang disebut Chloe: Andrea merupakan cultural novelist sekaligus periset sosial dan budaya.


Menurut Chloe, ide tulisan dan hasrat eksperimen yang kuat, serta penyeimbangan mutu dan penerimaan yang luas dari masyarakat menjadi daya tarik terbesar novel Andrea. Maka, novel Andrea bisa dibaca anak berusia 7 tahun hingga profesor. Bahkan karyanya diwacanakan di fakultas sastra, dijadikan skripsi, atau mas kawin. “Andrea mampu menjangkau semua kalangan,” katanya.


Boleh dibilang, dwilogi ini berpotensi menjadi sebesar para pendahulunya. Andrea layak mendapatkannya karena terbukti stamina menulisnya tak habis setelah kesuksesan karya sebelumnya.


stoooooopp.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar